Kamis, 10 Februari 2011

Terimalah Setiap Pemberian Allah dengan Rela Hati,
Niscaya Anda Menjadi Manusia Paling Kaya

Sebelumnya, hal ini telah banyak dijelaskan; yakni beberapa makna
dan faedah dari kerelaan hati seseorang dalam menerima setiap pemberian
atau ketentuan Allah. Namun, kali ini saya akan membahasnya secara lebih
panjang lebar untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Singkatnya,
makna sikap ini adalah bahwa Anda harus rela hati dan puas dengan setiap
pemberian Allah; baik itu yang berupa raga, harta, anak, tempat tinggal
ataupun bakat kemampuan. Dan, makna inilah yang tersirat dari ayat al-
Qur'an berikut,
{Sebab itu, berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan
hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.}
42
(QS. Al-A'raf: 144)
Sebagian besar ulama salafus salih dan generasi awal umat ini adalah orang-
orang yang secara materi termasuk fakir miskin. Mereka tidak memiliki
harta yang berlimpah, rumah yang megah, kendaraan yang bagus, dan juga
pengawal pribadi. Meski demikian, mereka ternyata mampu membuat kehidupan
ini justru lebih bermakna serta membuat diri mereka dan masyarakatnya lebih
bahagia. Yang demikian itu, adalah karena mereka senantiasa memanfaatkan
setiap pemberian Allah di jalan yang benar. Dan karena itu pula, umur, waktu,
dan kemampuan atau ketrampilan mereka menjadi penuh berkah. Kebalikan
dari kelompok manusia yang diberkahi ini adalah mereka yang dikarunia Allah
dengan kekayaan yang meruah, anak yang banyak, dan nikmat yang berlimpah.
Tetapi semua itu justru menyebabkan diri mereka senantiasa merasa penuh
penderitaan, kecemasan dan kegelisahan. Adapun penyebabnya, tak lain adalah
karena mereka telah menyimpang dari fitrah dan tuntunan hidup yang benar.
Ini menjadi bukti nyata bahwa segala sesuatu (kekayaan, anak, pangkat, jabatan,
kehormatan dan lain sebagainya) adalah bukan segala-galanya.
Lihatlah, betapa banyak sarjana atau doktor yang tidak dapat memberi
kontribusi, pemikiran dan pengaruh yang cukup bagi masyarakatnya. Namun
sebaliknya; tak sedikit manusia yang dengan ilmu dan kemampuannya yang
sangat terbatas justru mampu membangun sungai yang senantiasa
mengalirkan manfaat, kebaikan, dan kemakmuran bagi sesama manusia.
Jika Anda ingin bahagia, maka terimalah dengan rela hati bentuk
perawakan tubuh yang diciptakan Allah untuk Anda, apapun kondisi
keluarga Anda, bagaimanapun suara Anda, seperti apapun kemampuan daya
tangkap dan pemahaman Anda, serta seberapapun penghasilan Anda.
Bahkan, kalau ingin meneladani para guru sufi yang zuhud, maka
sesungguhnya mereka telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar
apa yang disebutkan itu. Mereka selalu berkata, "Seyogyanya Anda senantiasa
tetap senang hati menerima sesedikit apapun yang Anda miliki dan rela
dengan segala sesuatu yang tidak Anda miliki."
Berikut ini adalah beberapa tokoh terkenal yang kehidupan duniawi
mereka kurang beruntung.
1. Atha' ibn Rabah, orang yang paling alim pada zamannya adalah
seorang mantan budak berkulit hitam, berhidung pesek, lumpuh tangannya,
dan berambut keriting.
2. Ahnaf ibn Qais, orang Arab yang dikenal paling sabar dan penyantun
ini sangat kurus tubuhnya, bongkok punggungnya, melengkung betisnya
dan lemah postur tubuhnya.
La Tahzan 43
3. al-A'masy, ahli hadits kenamaan di dunia ini adalah sosok manusia
yang sayu sorot matanya dan seorang mantan budak yang fakir, compangcamping
baju yang dikenakannya, dan tidak menarik penampilan diri dan
rumahnya.
Bahkan, semua nabi dan rasul Allah adalah pernah menjadi
penggembala kambing. Dan, meskipun mereka termasuk manusia-manusia
pilihan Allah dan sebaik-baik manusia, pekerjaan mereka pun tak jauh beda
dengan manusia pada umumnya. Nabi Daud adalah seorang tukang besi,
Nabi Zakaria seorang tukang kayu, dan Nabi Idris seorang tukang jahit.
Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang pilihan.
Ini mengisyaratkan bahwa harga diri Anda ditentukan oleh
kemampuan, amal salih, kemanfaatan, dan akhlak Anda. Karena itu,
janganlah Anda bersedih dengan wajah yang kurang cantik, harta yang tak
banyak, anak yang sedikit, dan rumah yang tak megah! Singkatnya,
terimalah setiap pembagian Allah dengan penuh kerelaan hati.
{Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia.}

Selasa, 12 Mei 2009

KERJA IKHLAS = KERJA BODOH ?

Di jaman yang hampir semua hal diukur dengan materi, kerja ikhlas menjadi hal yang langka. Pelakunya pun kerap disebut orang aneh, orang antik atau orang yang melakukan hal bodoh. Kebanyakan orang di jaman ini memang bekerja dengan ?tulus? tetapi tidak ikhlas! ?Lho, apa bedanya Pak??, tanya para mahasiswa yang mengikuti kuliah atau seminar saya. Saya sering menjawab,?Tulus adalah singkatan dari TUjuannya fuLUS?. Jadi bekerja karena motivasinya adalah untuk mendapatkan uang. Jika mendapatkan uang banyak maka bekerja keras dengan sangat baik, tetapi jika mendapat uangnya sedikit maka kerjanya asal saja. Hal inilah yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bekerja untuk memperoleh imbalan yang setimpal dengan pekerjaan menurut ukurannya masing-masing. Tetapi jika bekerja dengan hati ikhlas, berarti bekerja dengan berdasarkan kasih dan kerelaan hati. Seperti matahari pagi yang selalu rajin tidak pernah terlambat selalu bersinar dan tidak pernah mengharapkan imbalan atau balasan kembali. Matahari juga tidak peduli apakah manusia mau menerima sinarnya atau bahkan menolaknya. Sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh seorang teman saya terjadi di Bandung beberapa waktu yang lalu. Kisah nyata ini dapat dijadikan suatu bahan renungan tentang keihklasan hati dalam bekerja. Seorang mahasiswa yang baru lulus menjadi sarjana kedokteran di sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Bandung memilih untuk bekerja menjadi asisten laboratorium di almamaternya. Penghasilan yang diterimanya sebagai asisten lab sangatlah kecil, bahkan tidak mencukupi walau pun hanya untuk membayar biaya transportasi ke kampusnya. Tetapi dia mencintai pekerjaan menjadi asisten dan melakukannya dengan ikhlas karena memang mencintai pekerjaan mengajar. Banyak orang yang mengatakan bahwa dia bodoh karena memilih bekerja menjadi asisten lab. Padahal sebagai sarjana kedokteran dari universitas negeri terkenal, dia memiliki peluang besar untuk bekerja di perusahaan swasta yang memberikan penghasilan berpuluh-puluh kali lebih besar. Walau orang tuanya pun mendesaknya untuk mencari pekerjaan lain, dia tetap memilih membantu almamaternya menjadi asisten lab. Semua hal itu dilakukan dengan hati yang ikhlas. ?Pekerjaan ini membahagiakan hati saya?, katanya. Suatu saat datanglah seorang profesor dari Jepang berkunjung ke universitas tersebut. Karena semua dosen sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, maka ditugaskanlah asisten lab tersebut untuk menemani dan membantu sang profesor selama berada di Bandung. Asisten tersebut bisa saja menolaknya karena hal itu bukanlah tugasnya sebagai asisten lab. Dia tidak dibayar untuk hal itu. Tetapi dia memilih untuk tetap menerima tugas itu dengan hati yang ikhlas dan berusaha membantu sebisanya tanpa mengeluh. Walau pun sama sekali tidak bisa berbahasa Jepang, dia berusaha sebaik mungkin membantu sang profesor. Mengantarnya mencari makanan untuk makan siang dan makan malam, berbelanja oleh-oleh Bandung, berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu, dan tempat-tempat wisata lainnya. Dia selalu mengantar ke mana pun sang profesor ingin pergi dengan tersenyum. Setiap hari dia menjemput sang profesor dan mengantarkannya kembali ke hotel tempat sang profesor menginap. Sampai saatnya profesor itu kembali ke Jepang, sang profesor memberikan jam tangannya kepada asisten lab tersebut sebagai tanda terima kasih. Hati sang Profesor sangat tersentuh dengan keramahan dan keikhlasan hati asisten lab yang telah membantunya selama berada di Bandung. Beberapa tahun kemudian, sang profesor telah terlupakan dalam ingatan asisten lab tersebut. Dan dia masih bekerja masih bekerja ikhlas sebagai asisten di universitas tersebut. Hingga datanglah sebuah kesempatan beasiswa belajar kedokteran sampai jenjang S-3 dari sebuah universitas di Jepang bagi akademisi di universitas negeri di Bandung tersebut. Dosen-dosen yang lebih senior segera mengirimkan aplikasi permohonan beasiswa ke universitas di Jepang tersebut. Tetapi ternyata oleh universitas di Jepang yang memberi beasiswa tersebut semuanya ditolak! Ternyata sang Profesor di universitas Jepang itu yang menolaknya. ? Saya hanya mau menerima dan merekomendasikan anak muda yang dulu pernah antar-antar saya selama saya di Bandung!?, katanya dengan tegas. Akhirnya sang asisten lah yang mendapatkan kesempatan untuk meneruskan kuliah dengan beasiswa di Jepang. Dia melampaui dosen-dosennya yang lebih senior untuk mendapat kesempatan kuliah lebih tinggi. Kabar terakhir yang saya terima, saat ini dia masih sedang menyelesaikan kuliah S-3 kedokterannya di Jepang. Dari kisah nyata itu saya berkesimpulan bahwa kerja ikhlas bukanlah kerja bodoh, melainkan kerja yang sangat pintar ! Walau pun dengan bekerja ikhlas kita tidak dipedulikan atasan kita, orang disekitar kita, atau tidak dipedulikan orang lain... tetaplah bekerja dengan x-tra kerja ikhlas! Faktor X ke tiga dalam fondasi kesuksesan seseorang. Ingatlah! Bahwa walau pun semua orang di dunia tidak peduli dan menutup mata terhadap apa pun keikhlasan yang kita perbuat, tetapi Tuhan akan selalu peduli dan tidak akan menutup mata Nya kepada keikhlasan hati kita. Di saat yang TEPAT Dia akan memanggil malaikat Nya, ?Kat, Kat, malaikat...kasih BERKAT untuk orang yang ikhlas itu?. Salam Ikhlas dimanapun anda berada...
Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1)

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
-bersambung insya Allah-
***
Sumber: Majalah As SunnahPenyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.Dipublikasikan kembali oleh http://www.muslim.or.id/

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (2)